Fotografi: Antara Hak Cipta dan Kemudahan Teknologi


Sekitar tahun-tahun awal dekade pertama abad ini, saya tidak akan sungkan menyapa akrab seseorang yang sedang memotret di pinggir jalan atau di tempat lain jika kebetulan saya berpapasan dengan mereka di Kota Makassar. Saat itu pelaku fotografi masih sangat sedikit sehingga saya bisa dengan mudah mengenali mereka yang mempunyai hobi fotografi.

Boleh dibilang pada saat itu fotografi masih menjadi sebuah hobi yang eksklusif dan mahal, itulah kenapa pelaku fotografi hanya diminati sedikit orang saja. Lain hal yang terjadi sekarang; pelaku fotografi sudah semakin banyak seiring semakin gampangnya mendapatkan dan mengoperasikan kamera foto.

Fotografi, siapa atau bidang apa yang tidak membutuhkan profesi ini? Semua bidang sepertinya tidak biasa melepaskan diri dari proses dokumentasi foto. Keberadaan dunia fotografi berkembang pesat, sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin memudahkan seseorang melakukan proses pemotretan. Perkembangan ini mengakibatkan semakin menjamurnya fotografer-fotografer dalam kehidupan kita.

Dunia informasi yang begitu terbuka membuat aspek-aspek fotografi dapat ditemukan di beragam situs yang ada di dunia maya. Segala metode dan teknik terkini dapat diperoleh untuk menambah kemampuan ilmu fotografi. Hal ini mendorong para fotografer untuk berkelompok sesuai dengan jenis pemotretan yang mereka gemari. Kelompok-kelompok fotografer ini lahir dengan lebih homogen. Seperti para fotografer fashion, jurnalis fotografi, kelompok fotografi mahasiswa, pelajar. Hingga saat ini tak kurang dari 30 kelompok pencinta fotografi telah terbentuk di kota ini. Ibarat jamur di musim penghujan ini adalah gejala yang baik untuk perkembangan dunia fotografi.

Di Indonesia sendiri perkembangan fotografi secara berkelompok telah dirintis jauh sebelumnya, sejak tahun 1973 tepat pada tanggal 30 Desember delapan kelompok fotografi yang tersebar di Indonesia membentuk sebuah wadah Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia (FPSI), inilah sebuah federasi yang terbentuk di Indonesia untuk mewadahi kelompok-kelompok fotografi yang ada, di antara anggota tersebut terdapat 2 kelompok foto dari Makassar, yaitu Perkumpulan Seni Foto Makassar (PSFM) dan Perkumpulan Fotografi Makassar (Performa).

Sampai saat ini FPSI telah melakukan 30 kali perhelatan akbar yakni Salon foto Indonesia (SFI), ini merupakan ajang untuk mempertarungkan karya-karya foto amatir sekaligus sebagai tempat memperoleh gelar-gelar kehormatan dalam dunia fotografi di Indonesia. Tahun ini SFI yang ke-31 akan diadakan di kota Batam, dan menurut jadwal maka 2011 pelaksanaan SFI ke-32 akan dilaksanakan di Kota Makassar.

Dunia tanpa gambar ibarat sayur tanpa garam, ini merupakan sebuah ungkapan yang digaungkan oleh seniman-seniman visual, fotografi yang juga merupakan sebuah cabang seni rupa, memiliki karakteristik yang cukup unik dalam menghasilkan sebuah karya foto. Diawali dari proses pencarian objek foto hingga melepas tombol rana, sebuah aktivitas yang melalui proses.

Karya fotografi telah dilindungi undang-undang sebagai sebuah karya seni dan kekayaan intelektual. Pemegang hak cipta terhadap sebuah karya fotografi pastilah dimiliki oleh orang yang menciptakannya sehingga menjadi perlindungan terhadap nilai seni dan ekonomis terhadap sebuah karya foto.

Telah banyak terjadi kasus “pencurian” foto baik di negara lain maupun di Indonesia, apalagi saat ini teknologi telah mempermudah proses duplikasi karya dengan cepat. Berbeda dengan beberapa tahun lalu, di mana fotografi analog masih menggunakan klise (negatif), yang menjadikannya sebagai wujud kepemilikan yang sah pada sebuah karya foto. Saat ini sebuah karya foto dapat diduplikasi hingga jumlah yang tak terhingga tanpa membuat kualitasnya berbeda satu sama lain.

Fotografi digital yang tidak memiliki film negatif yang merupakan cetakannya dan juga sangat mudah diduplikasi menyisakan celah bagi orang-orang iseng untuk menggandakan foto milik orang dan mengkalim atau menggunakannya untuk keperluan pribadi maupun komersial. Jika Anda pernah mengunjungi toko-toko yang menjual perangkat lunak (software) bajakan Anda akan menemui tumpukan CD yang berisi stok foto baik dalam resolusi tinggi untuk keperluan cetak maupun resolusi rendah untuk keperluan online publishing. Sementara di sebuah toko buku grafis di kawasan Jakarta Selatan Anda bisa menemui CD yang sama dengan kemasan yang lebih rapi lengkap dengan segelnya dengan harga lebih dari 10 kali lipatnya. Jelas yang mahal adalah yang asli atau legal, sementara yang murah adalah bajakan. Pembajakan hak cipta foto juga terjadi di internet di mana anda bisa menemui website stock image maupun web gallery komunitas fotografi online. Foto-foto yang terpampang di website semacam ini sangat rentan terhadap pencurian. Namun lebih mudah dibuktikan keasliannya karena besaran resolusi foto yang dipublikasikan di internet relatif kecil.

Secara hukum kepemilikan sah sebuah karya foto ada pada orang yang melakukan pemotretan. Kepemilikan foto tersebut dapat dibeli atau diberikan kepada pihak lain seizin pemilik foto. Aturan yang umum kita jumpai saat ini adalah apabila karya foto hanya digunakan untuk kepentingan sosial, biasanya tidak ada kewajiban materi yang harus diselesaikan, hanya kewajiban mencantumkan nama pemilik foto pada sisi foto tersebut. Alangkah naifnya apabila ada seorang atau sebuah lembaga melakukan “pencuri” foto yang bukan haknya, minimal sekali hal yang harus dilakukan adalah meminta izin kepada fotografer yang bersangkutan.

Upaya-upaya pencegahan semacam ini bisa menghindarkan Anda dari tuntutan hukum. Berdasarkan UU No. 19 tahun 2002 pelanggaran hak cipta bisa menyeret tertuduh tidak hanya pada tingkat perdata namun juga pidana dengan hukuman kurungan maksimal 7 tahun di samping denda maksimal 5 miliar rupiah.

Sebagai sebuah profesi, fotografer sebenarnya memiliki wadah organisasi yang menjadi ‘pengawal’ karya-karya mereka. Dengan hidup berkelompok, para fotografer merupakan insan sosial yang membutuhkan sosialiasi antar fotografer. Kelompok-kelompok fotografer yang ada merupakan representasi keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat. Sebagai makhluk sosial tentu fotografer juga memiliki kepedulian yang besar terhadap perkembangan daerahnya. Budaya merupakan target pemotretan yang paling banyak digemari para fotografer. Semakin unik dan semakin minoritas sebuah budaya semakin diburu para fotografer. Budaya akhirnya menjadi sebuah potensi daerah yang layak dijual untuk menambah pendapatan daerah bersangkutan. Untuk mempromosikannya alangkah baiknya pihak-pihak terkait merangkul kelompok-kelompok fotografi sebagai pemburu momen untuk mendukung proses promosi yang akan dilakukan.

Demi kepentingan bersama alangkah indahnya kalau lembaga terkait dan membutuhkan jasa fotografer untuk melibatkan dalam pelestarian budaya ini. Secara ekonomis saya sangat yakin, dengan pembicaraan terbuka seorang fotografer akan rela memberikan karya-karya terbaiknya untuk pelestarian ini. Penghargaan dan pengakuan itulah harapan seseorang berkarya. Penghargaan tidak harus dengan materi, memohon izin pun adalah sebuah penghargaan yang tak ternilai apabila dalam koridor yang benar, pengakuan pun bukan dengan hal yang macam-macam dengan mancantumkan nama dari fotografer yang bersangkutan sudah sangat luar biasa buat seorang fotografer.

Sebagai bangsa yang berbudaya marilah kita saling menghargai dan tolong menolong dalam melestarikan budaya kita yang indah ini. Apalah jadinya apabila penguasa daerah sendiri tidak menghargai budaya dan karya seni daerahnya, bagaimana kita menuntut orang lain untuk menghargainya.

*Tulisan ini dimuat sebagai Opini pada harian Fajar, 17 April 2010

0 comments: