Media Penyiaran Idealisme dan Kapitalisme (Opini Harian Fajar, 1 April 2014)


Kata penyiaran merupakan sebuah identitas yang cukup akrab di telinga kita. Penyiaran yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata dasar siar yakni meyebarkan atau propaganda sedangkan penyiaran /pe·nyi·ar·an/ n proses, cara, perbuatan menyiarkan.  1 April 1933 di Solo telah berdiri stasiun radio milik bangsa Indonesia yaitu Soloche Radio Vereeniging (SRV) yang diprakarsai oleh Mangkoenagoro VII. Tanggal ini akhirnya diperingati setiap tahunnya sebagai hari penyiaran nasional. Radio sebagai momentum awal terhadap dunia penyiaran telah memiliki andil besar terhadap perubahan tatanan bernegara kita. Berkat Radio pula Bung Karno dapat didengar oleh seluruh bangsa Indonesia saat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Saat ini dunia penyiaran telah berelaborasi dan bersinergi dengan berbagai macam bidang teknologi. Hampir tak bisa lagi konteks penyiaran hanya digunakan pada media Radio atau Televisi semata. Penyiaran pada tafsir prilaku telah banyak diambil peranannya oleh kekuatan teknologi baru. Masih relevan kah saat ini kita hanya berkutat dengan eforia masa lalu serta memaksakan diri untuk menghindar dari proses global dalam perkembangan teknologi informasi.
Saat ini dengan hadirnya siaran-siaran yang bersifat free to air jumlah radio dan televisi di kota makassar memiliki jumlah yang hampir sama banyaknya. Perbedaan yang mendasar adalah kepemilikan lokal, radio secara persentasi lebih besar dibandingkan televisi sehingga kebutuhan informasi mendasar yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat kota makassar masih didominasi oleh media radio. Walaupun secara efek psikologi komunikasi televisi lebih berpengaruh.
Kepemilikan akhirnya menjadi penting saat ini untuk bisa atau mengetahui ideologi yang diusung oleh media penyiaran. Kepentingan-kepentingan yang menjadi alasan informasi saat ini menjadi sebuah komunitas yang tidak lagi sebagai idealisme belaka, informasi hampir masuk atau sudah masuk dalam produk kapitalisme. Hal ini mau tidak mau harus diterima dalam prespektif kebudayaan material saat ini. Industri media penyiaran itulah istilah yang melekat kepada dunia penyiaran. Kata industri lah yang meyebabkan secara ideologi media akhirnya harus tunduk kepada pasar, kita menyebutnya sebagai rating (tingkat share penonton terhadap program penyiaran).
Ilmuwan Gerhard Lenski (dalam buku Sociology – John J. Macionis edisi  15, 2013) menggunakan terawangan evolusi sosial budaya guna melihat perkembangan masyarakat. Lenski menjelaskan bagaimana perubahan dalam masyarakat terjadi segera setelah mereka memproduksi (atau mengadaptasi) teknologi baru. Bagi Lenski, masyarakat wilayah pedalaman tidak selalu berarti lebih terbelakang ketimbang urban. Masyarakat pedalaman menggunakan teknologi yang sekadar menjangkau jumlah anggota mereka yang memang kecil, sementara teknologi masyarakat urban (misalnya alat komunikasi) mampu menjangkau jumlah yang lebih besar. Jangkauan ini berpengaruh terhadap pola perubahan masyarakat sehubungan intensitas interaksi sosial yang dihasilkannya. 
Kekuatan informasi dengan penyebaran yang begitu mudah inilah yang seharusnya menjadi sebuah pemikiran terhadap regulasi yang lebih memberikan penekanan dalam membatasi konten yang disiarkan. Sebuah budaya yang dihadirkan secara masif dalam dunia penyiaran akan bernampak terhadap teradopsinya beberapa budaya yang dapat mengubah budaya setempat. Pemikiran inilah yang harusnya menjadi landasan kenapa informasi dalam dunia penyiaran itu harus memaksimalkan konten lokal.
Era Digital dalam memaksimalkan kualitas siaran serta jumlah konten siaran yang lebih banyak telah berproses. Era ini akan menjadi sebuah serangan informasi dengan jumlah yang berapa kali lipat dari saat ini. Kesiapan tentu bukan hanya pada aspek regulasi bidang penyiaran saja. Jauh lebih penting saat ini dalam momentum hari penyiaran kita mulai berpikir. Sifat konsumtif masyarakat telah banyak dikaji oleh kaum intelektual, bukan saja pada konsumsi produk, konsumsi informasi masyarakat harus juga mendapat perhatian. Selektifitas dalam mengkonsumsi informasi yang dibutuhkan harus menjadi poin penyadaran masyarakat.
Literasi Media adalah kemampuan untuk mengkritik isi media dan memiliki pemahaman penuh tentang realitas. Masyarakat harus memiliki kemampuan untuk mengakses media, menganalisis isi media sesuai dengan konteks, mengkritik media massa, dan menulis pesan mereka sendiri dalam berbagai bentuk dan jenis media. Literasi Media, pada gilirannya, dapat menjadi langkah antisipatif dalam menghadapi konflik serta menjaga perdamaian di suatu wilayah.
Perkembangan teknologi informasi tanpa diikuti dengan penguatan kapasitas masyarakat dalam mengkonsumsi media akhirnya akan berdampak buruk pada proses kebudayaan kita. Demikian pula dengan media, khususnya media penyiaran, kasus Smackdown di Lativi pada tahun 2006 sebenarnya pada satu sisi menunjukkan terlambatnya media memberikan literasi media. Ketika Lativi pada waktu itu menyiarkan berbagai program bahwa acara Smackdown itu hiburan dan fiksional, upaya tersebut sudah terlambat karena sudah menimbulkan banyak korban di penonton anak-anak.
Dunia penyiaran merupakan kumpulan orang-orang kreatif yang memiliki ideologi tinggi, tetapi media penyiaran telah terkoptasi dalam industri kapital. Pertanda baik masih mungkin kita gantungkan pada orang-orang tersebut, sebagai kehendak kearifan lokal yang terus terjaga dari zaman ke zaman. Dunia tak lagi sempit, arus informasi telah menerpa dari segala arah, komitmen lah yang diperlukan saat ini. Mari jadikan diri kita sebagai filter-filter informasi. Semoga hari depan kita masih berbudaya luhur dari proses intraksi sosial bukan berbudaya dari terpaan informasi global. Selamat Hari Penyiaran 2014

Integrasi Media Penyiaran Sebagai Pilar Pembangunan Sulawesi Selatan


“Siapa yang menguasai Informasi akan menguasai dunia” Kata Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave. Ungkapan pakar komunikasi ini telah sering dijadikan mantra untuk menunjukkan kekuatan dari media massa. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “bagaimana seseorang bisa menguasai informasi sehingga dengan demikian dapat menguasai dunia?”
Secara eksplisit dikatakan, bahwa Teknologi Informasi itu merupakan gabungan antara Teknologi Komputer dengan Teknologi Telekomunikasi. Teknologi Komputer adalah teknologi yang berhubungan dengan komputer, termasuk peralatan-peralatan yang berhubungan dengan komputer seperti  printer, kamera, CCTV, dan sebagainya. Sedangkan Teknologi Telekomunikasi atau disebut juga dengan Teknologi Komunikasi adalah teknologi yang berhubungan dengan komunikasi jarak jauh seperti telepon, faksimile, radio, televisi, dan sebaginya. Pada perkembangannya kemudian teknologi komunikasi menjembatani integrasi antara komputer dari kota yang satu ke kota yang lain, negara satu dengan negara yang lain.
Kekuatan informasi saat ini sebagaian besar berada di lembaga-lembaga media, sehingga akses informasi yang paling menjadi acuan masyarakat tentu saja media. Kekuatan inilah yang menjadikan media sebagai mitra terbaik dalam menguasai informasi. Media elektronik atau lebih dikenal dengan istilah media penyiaran merupakan bagian dari media yang mempunyai andil cukup penting, seperti; radio dan televisi menjadi primadona dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing.
Pesatnya perkembangan dunia penyiaran tidak terlepas dari andil UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai representasi publik dalam mengatur dan mengawal pelaksanaan undang-undang tersebut sehingga semakin membuka kemungkinan dunia penyiaran berkembang sampai ke pelosok negeri. Semakin berkembangnya jumlah media penyiaran semakin terbuka pula akses infomasi yang diperoleh oleh masyarakat.
Tugas lain dari KPI adalah memberikan arahan dan panduan positif kepada lembaga-lembaga penyiaran dalam melaksanakan fungsi sebagai penyebar informasi ke masyarakat. Secara administrasi,  khususnya di Propinsi Sulawesi Selatan jumlah lembaga penyiaran yang mengajukan proposal ijin penyiaran berjumlah 237 berkas, terbagai dalam 4 kategori, yakni;  Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas dan Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Dalam kurun waktu tiga periode KPID Sulawesi Selatan telah menerbitkan 149 Rekomendasi kelayakan (RK), yang merupakan syarat penerbitan Ijin Penyelengara Penyiaran (IPP) oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi. Jumlah ini terbagi 22 Lembaga Penyiaran (LP) Swasta Televisi, 1 LP Publik Lokal Televisi, 67 LP Berlangganan Televisi, 45 LP Swasta Radio, 8 LP Publik Lokal Radio, 6 LP Komunitas Radio.
Jumlah ini merupakan aset penyebaran informasi yang dapat dimanfaatkan melalui energi positif dalam menguasai dunia. Dengan jumlah 24 kabupaten dan kota di provinsi ini, tidaklah mudah untuk mentransformasi ide dan gagasan secara serempak. Media penyiaran menjadi alternatif apabila dapat dikelola untuk energi positif tersebut.
Sulawesi Selatan saat ini tengah menuju kepada target sebagai pilar utama pembangunan nasional. Hal ini menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkannya. Pilar Pembangunan Nasional secara umum terbagi menjadi 5 pilar utama yakni Pangan, Sandang, Papan, Kesehatan serta Pendidikan. Penyampain kebijakan-kebijakan dari pemerintah akan sangat mendukung pola penyebaran yang merata, perwujudan itu tidak hanya menjadi konsumsi dari kota-kota besar di Sulawesi Selatan, akan tetapi dapat merata keseluruh pelosok. Kekuatan media penyiaran saat ini merupakan sebuah modal untuk dapat mesinergikannya.
Kekuatan informasi yang dimiliki media penyiaran hendaknya dapat mendukung hal tersebut, tidak salah rasanya kalau media penyiaran Sulawesi Selatan ikut menjadi Pilar Pembangunan. Memberikan nilai-nilai pembanguan yang positif, mengabarkan keberhasilan, mengulas dan mencarikan solusi terhadap kekuargan, bukanlah hal yang tabu buat dunia penyiaran. Tanggung jawab media penyiaran dalam menggunakan ranah publik harus diikuti dengan informasi-informasi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai sebuah wujud kepedulian lembaga penyiaran sebagai sebuah kekuatan informasi. KPID Sulawesi Selatan akan mengangkat tema “Integrasi Media Penyiaran Sebagai Pilar Pembangunan Sulawesi Selatan” untuk pelaksanaan KPID Award 2013 yang ke 8. Pemilihan tema ini diharapkan akan mempunyai andil untuk ikut mendukung visi Sulawsei Selatan 2013-2018. Pada waktunya Sulawesi Selatan bukan hanya dapat menguasai Indonesia tapi dapat juga menguasai Dunia.

News room -- Marketing room (Opini Harian Fajar Tanggal Maret 2012)

Hiruk pikuk sebuah proses demokrasi menjadikan suasana lebih meriah dan "bergairah". Sebagaimana sebuah perhelatan, proses demokrasi di Indonesia juga dihiasi dengan berbagai aksesoris dan pernak-pernik yang meriah dan mencolok. Hal ini terkadang disinyalir oleh beberapa peraturan menjadi berlebihan atau terkadang melanggar ruang-ruang publik yang ada. Proses demokrasi apapun selalu diawali dengan sebuah sosialisasi, penggunaan ruang publik seperti jalan-jalan protokol, sudut-sudut kota, bahkan teori media alternatif iklan pun sudah dimanfaatkan seperti branding alat transportasi. Berkembangnya inovasi dan kreasi pidang periklanan komersial menjadi acuan formal dalam proses demokrasi. Media massa adalah sebuah ruang yang menjadi trend dalam proses demokrasi saat in yang menjadi media percepatan penyampaian gagasan dan jualan figur dari kelompok masyarakat agar memenangkan proses demokrasi. Proses ini memandang agak sulit ditafsir karena jauh sebelum massa kampanye yang ditetapkan oleh KPU sosialisasi politiknya sudah memenuhi ruang publik.

Media massa televisi yang merupakan sebuah media dengan tingkat pemahaman konten yang tinggi dibanding media massa lainnya, disinyalir seolah-olah memberikan ruang dalam proses demokrasi dengan memburu keuntungan semata. Demikian berkembangnya teknologi informasi bertambah pula persoalan  regulasi penyiaran. Terlebih lagi apa bila kita melihat konsep ideologi media yang dipengaruhi oleh pemilik dan pemasang iklan. Sebagai pengguna frekuensi sebagai ranah publik yang memiliki keterbatasan, penggunaannya harus berpedoman kepada teori tanggung jawab sosial. Menurut Denis McQuail, teori tanggung jawab sosial harus berusaha mengawinkan tiga prinsip yang agak berbeda, prinsip kebebasan dan pilihan individual, prinsip kebebasan media dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat. Prinsip utama teori tanggung jawab sosial dapat disajikan sebagai berikut :
  1. Media sepatutnya menerima dan memenuhi kewajiaban tertentu kepada masyarakat.
  2. Kewajiaban tersebutterutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, obyektivitas, dan keseimbangan.
  3. Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seharusnya dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga uang ada.
  4. Media harus menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas etnik dan agama.
  5. Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kempatan yang sama untuk mengungkapkan sudut pandang dan hak untuk menjawab.
  6. Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk kepentingan umum.
  7. Wartawan dan media profesioanl bertanggung jawab terhadap masyarakat dan majikan serta pasar.


Dalam tafsir pemahaman regulasi penyiaran, beberapa hal menjadi dalam wilayah abu-abu, sehingga inilah yang akhirnya dimanfaatkan sebagai peluang dalam meraup keuntungan. Semua ini karena regulasi tidak fleksibel dalam mengikuti perkembangan dunia penyiaran yang berkembang pesat. Secara arif sebenarnya media penyiaran harus memahami fungsi media dengan baik, sehingga media tetap dalam lingkup teori tanggung jawab sosial.
Industri penyiaran khususnya televisi saat ini penonton agak sulit membedakan mana informasi yang berasal dari ruang pemberitaan (news room) mana yang berasal dari ruang pemasaran (marketing room). Ini dikarenakan ada konsep regulasi yang melarang media penyiaran melakukan penjualan jam tayang kepada pihak ketiga. Konsep penjualan jam tayang ini dikenal dengan istilah blocking time, sehingga media secara maksimal sebagai pengguna frekuensi yang merupakan ranah publik dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara berimbang sesuai dengan fakta yang ada. Adapun definisi oprasional dari news room dan marketing room yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut

News room
Media penyiaran adalah pemberi informasi kepada masyarakat dengan mengelola sesuai dengan program yang telah dirancang sesuai dengan segmen media tersebut. Ruang pemeritaan yang dimiliki pasti melalui sebuah kebijakan redaksional dengan memperhatikan etika dan teori jurnalistik, kebijaksanaan redaksional yang dirancang diruang pemeberitaan selalu berpedoman kepada agenda publik. Keberadaan news room dalam sebuah media merupakan nyawa dari kontrol sosial sebuah media dengan merujuk pada teori kesenjangan sosial. filosofi nilai-nilai jurnalistik dan informasi pasti lahir dari ruang ini.

Marketing room
Media penyiaran merupakan sebuah industri yang merujung pada keuntungan. Lazimnya sebuah industri dengan produk jasa informasi, proses manajemen media penyiaran menempatkan sebuah devisi pemasaran yang mampu menjual program-program dalam sebuah media kepada para pihak ke tiga. Metode-metode marketing moderen merupakan sebuah aplikasi dalam meyakinkan media promosi yang lebih dikenal dengan iklan untuk memberikan awerness kepada kalayak media tersebut. Dalam regulasi penyiaran porsi iklan yang menjadi pendanaan sebuah penyiaran diatur dalam persentasi, adapun jumlahnya adalah 10% dari total jam siaran, dengan jumlah tersebut tim pemasaran sebuah media akan melakukan sebuah strategi marketing yang dirumuskan dalam marketing room dari setiap media untuk mencapai target, sehingga biaya produksi media dapat tertutupi dan memperoleh laba sebagai sebuah profit perusahaan. Menjamurnya media saat ini mengharuskan tim pemasaran untuk berpikir lebih keras untuk dapat meraup kue iklan dari media pesaing. Bermacam cara yang terkadang terjadi konflik internal media, disatu sisi hal ini dilarang diregulasi dilain sisi ini merupakan pemasukan untuk sebuah media. Seperti informasi politik, kapan menjadi sebuah berita dan kapan menjadin sebuah produk iklan.


Pemegang Regulasi
Media saat ini hadir dengan beragam segmen, secara manajerial media sangat tergantung dengan jumlah penontonnya. Semakin tinggi rating bisa dipastikan secara keuangan media itu akan cukup sehat dalam industri media. Semakin rendahnya rating sebuah media penyiaran terkadang tim pemasaran akan lebih sulit menjual program-program media kepada pengiklan, dan pasti akan membuat kondisi keuangan akan tidak sehat. Kondisi inilah yang terkadang membuat media penyiaran harus menabrak regulasi untuk mensiasati atau bahkan menjual news room untuk kepentingan tertentu. Indonesia memiliki UU32/2002 yang mengatur tentang penyiaran, KPI sebagai komisi yang diamanhkan oleh undang-undang untuk mengawasi proses penyiaran terhadap media yang ada, mempunyai kewajiban untuk memastikan netralitas dan memastikan bahwa sebuah media menempatkan segala sesuatunya sesuai dengan tempatnya. Salah satunya adalah informasi yang diberikan kepada masyarkat merupakan hasil dari news room dan bukan dari marketing room. Mekanisme klarifikasi adalah langkah awal yang dilakukan untuk mendapat penjelasan.  Media yang menerima surat permintaan klarifikasi tidak perlu kalang kabut kalau masih dalam regulasi. Klarifikasi merupakan prosedur umum yang digunakan untuk membuka kran komunikasi. Proses klarifikasi inilah sebenarnya terjadi sinergitas antara pemegang regulasi dan media penyiaran, sehingga dunia penyiaran akan semakin kaya dalam memberikan informasi dan motivasi positif untuk mencerdaskan bangsa ini.


Kebutuhan informasi dengan jumlah media telivisi yang tidak lagi sedikit mengharuskan telivisi mernancang program dan informasi semenarik mungkin untuk mendapatkan attantion yang tinggi dari masyarkat. Attantion akan menghasilkan rating yang tinggi sebagai sebuah indikator bagi pemasang iklan dalan menggunakan jasa informasi tersebut. Keberhasilan sebuah televisi dalam melahirkan program dan informasi terbaik pasti di kendalikan oleh sumber daya manusia yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan dalam dunia broadcasting dengan baik. Sehingga kompetensi yang standar menjadi utama dalam melahirkan sebuah media televisi yang sehat. Sebagai pemegang regualsi kpi berusaha untuk memacu kompentensi dari lembaga penyiaran dalam kapasitas kompetensi. Program gerakan produksi sehat (gesit) yang diluncurkan akhir tahun 2011 lalu oleh KPID Sulsel merupakan arah untuk membantu untuk menyehatkan lembaga penyiaran dengan diisi oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan latar belakang yang sesuai pada bidangnya. Semakin sehat sebuah media akan semakin kecil kemungkinan untuk melanggar hal-hal yang besifat umum.

TAKABONERATE EXPEDITION: Menjelajahi Takabonerate bersama POSSI

Berada di ujung Selatan propinsi sulsel tepatnya disebuah hamparan Karang ketiga terluas di dunia, takabonerata. Tahun ini adalah penyelenggaran untuk kedua kalinya Takabonerate Expedition. Sebuah event yang dijadikan sebagai agenda tahunan promosi wisata Pemprov Sulsel. Persatuan Olahraga Selam seluruh Indonesia (POSSI) sulsel ikut ambil bagian dalam memeriahkannya. 

Trip kali ini cukup istimewa karena dihadiri oleh klub-klub selam yang ada di Makassar serta ikut dalam rombangan 2 orang pembina dan penyelam senior POSSI Sulsel A. Ilham Mattalatta dan Philip R Karunreng. Sebagai ujung tombak mempromosikan wisatawan bahari khususnya pencinta keindahan bawah air, POSSI bersama dengan dinas pariwisata melakukan trip diving ke Kabupaten Kepulauan Selayar. 

Tidak seperti tahun sebelumnya, tahun ini possi merancang trip tersendiri, untuk dapat memaksimalkan dan mengeksplor keindahan bawah air di kepulauan selayar. Trip dive kali ini diawali dengan perjalanan darat dari Makassar menuju kota Benteng, tentunya melewati penyebrangan bira-pamatata. Pemilihan trip ini didasari oleh keinginan kuat untuk dapat menggali lebih banyak titik penyelaman sebagai aset wisata sulsel. 

Dengan menggunakan kapal kayu rombongan possi yang berjumlah 35 orang penyelam bergerak menuju pulau rajuni yang merupakan salah satu pulau dalam gugus takabonerata. Perjalanan kapal yg kami tempuh cukup melelahkan. Esok paginya semua pemandangan alam yang cantik dihadirkan dihadapan kami. Penyelaman pertama kami lakukan secepatnya di sebuah spot dive di pulau Latondu Besar yang juga pulau dalam kawasan taman nasional takabonerata. 

Setelah puas menikmati dan mengabadikan keindahan bawah laut, kami bergerak menuju tempat kegiatan takabonerate expaditon II untuk bersama-sama peserta lain melakukan pembukaan. Penyelaman kedua pun kami persiapkan, sebelumnya kami berkesempatan untuk berfoto dengan pejabat yang hadir di lokasi penyelenggaraan TE II. Dengan menggunakan Kapal kayu dengan kecepatan maksimal 10 knot yang kami tumpangi bergerak kearah pulau latondu kecil, pemilihan spot yg kami lakukan atas pertimbangan beberapa info dari penyelaman serta peta karang yang kami miliki. 
Untuk mencapai spot penyelaman kedua ini, kami memerlukan waktu sekitar 30 menit, mendekati lokasi penyelaman, sebuah kapal dengan muatan penumpang 4 orang dan 2 diantaranya membawa senjata otomatis mendekati kapal kami. Ternyata mereka adalah Jagawana yang menjaga taman nasional ini. Dari perbincangan dengan Ketua rombongan kami Mucsin Situnju, kami tidak diperkenankan melakukan penyelaman di daerah ini, dengan alasan tidak masuk dalam titik penyelaman yang telah mereka tentukan serta kami tidak memiliki ijin untuk menyelam di daerah ini. Penyelasan bahwa kami adalah peyelam yang ikut serta dalam TE pun tidak membuat negosiasi ini lancar. agar penyelaman tetap terlaksana dua orang senior POSSI yang bersama kami akhirnya rela tidak ikut dive dan ikut bersama mereka menghadap ke komandannya. Sayang sekali sebuah kegiatan yang berskala nasional ini, tidak disetai dengan terbukanya akses dan kebebasan dalam menjelajahi keindahan taman nasional terbesar ketiga didunia ini.

Fotografi: Antara Hak Cipta dan Kemudahan Teknologi


Sekitar tahun-tahun awal dekade pertama abad ini, saya tidak akan sungkan menyapa akrab seseorang yang sedang memotret di pinggir jalan atau di tempat lain jika kebetulan saya berpapasan dengan mereka di Kota Makassar. Saat itu pelaku fotografi masih sangat sedikit sehingga saya bisa dengan mudah mengenali mereka yang mempunyai hobi fotografi.

Boleh dibilang pada saat itu fotografi masih menjadi sebuah hobi yang eksklusif dan mahal, itulah kenapa pelaku fotografi hanya diminati sedikit orang saja. Lain hal yang terjadi sekarang; pelaku fotografi sudah semakin banyak seiring semakin gampangnya mendapatkan dan mengoperasikan kamera foto.

Fotografi, siapa atau bidang apa yang tidak membutuhkan profesi ini? Semua bidang sepertinya tidak biasa melepaskan diri dari proses dokumentasi foto. Keberadaan dunia fotografi berkembang pesat, sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin memudahkan seseorang melakukan proses pemotretan. Perkembangan ini mengakibatkan semakin menjamurnya fotografer-fotografer dalam kehidupan kita.

Dunia informasi yang begitu terbuka membuat aspek-aspek fotografi dapat ditemukan di beragam situs yang ada di dunia maya. Segala metode dan teknik terkini dapat diperoleh untuk menambah kemampuan ilmu fotografi. Hal ini mendorong para fotografer untuk berkelompok sesuai dengan jenis pemotretan yang mereka gemari. Kelompok-kelompok fotografer ini lahir dengan lebih homogen. Seperti para fotografer fashion, jurnalis fotografi, kelompok fotografi mahasiswa, pelajar. Hingga saat ini tak kurang dari 30 kelompok pencinta fotografi telah terbentuk di kota ini. Ibarat jamur di musim penghujan ini adalah gejala yang baik untuk perkembangan dunia fotografi.

Di Indonesia sendiri perkembangan fotografi secara berkelompok telah dirintis jauh sebelumnya, sejak tahun 1973 tepat pada tanggal 30 Desember delapan kelompok fotografi yang tersebar di Indonesia membentuk sebuah wadah Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia (FPSI), inilah sebuah federasi yang terbentuk di Indonesia untuk mewadahi kelompok-kelompok fotografi yang ada, di antara anggota tersebut terdapat 2 kelompok foto dari Makassar, yaitu Perkumpulan Seni Foto Makassar (PSFM) dan Perkumpulan Fotografi Makassar (Performa).

Sampai saat ini FPSI telah melakukan 30 kali perhelatan akbar yakni Salon foto Indonesia (SFI), ini merupakan ajang untuk mempertarungkan karya-karya foto amatir sekaligus sebagai tempat memperoleh gelar-gelar kehormatan dalam dunia fotografi di Indonesia. Tahun ini SFI yang ke-31 akan diadakan di kota Batam, dan menurut jadwal maka 2011 pelaksanaan SFI ke-32 akan dilaksanakan di Kota Makassar.

Dunia tanpa gambar ibarat sayur tanpa garam, ini merupakan sebuah ungkapan yang digaungkan oleh seniman-seniman visual, fotografi yang juga merupakan sebuah cabang seni rupa, memiliki karakteristik yang cukup unik dalam menghasilkan sebuah karya foto. Diawali dari proses pencarian objek foto hingga melepas tombol rana, sebuah aktivitas yang melalui proses.

Karya fotografi telah dilindungi undang-undang sebagai sebuah karya seni dan kekayaan intelektual. Pemegang hak cipta terhadap sebuah karya fotografi pastilah dimiliki oleh orang yang menciptakannya sehingga menjadi perlindungan terhadap nilai seni dan ekonomis terhadap sebuah karya foto.

Telah banyak terjadi kasus “pencurian” foto baik di negara lain maupun di Indonesia, apalagi saat ini teknologi telah mempermudah proses duplikasi karya dengan cepat. Berbeda dengan beberapa tahun lalu, di mana fotografi analog masih menggunakan klise (negatif), yang menjadikannya sebagai wujud kepemilikan yang sah pada sebuah karya foto. Saat ini sebuah karya foto dapat diduplikasi hingga jumlah yang tak terhingga tanpa membuat kualitasnya berbeda satu sama lain.

Fotografi digital yang tidak memiliki film negatif yang merupakan cetakannya dan juga sangat mudah diduplikasi menyisakan celah bagi orang-orang iseng untuk menggandakan foto milik orang dan mengkalim atau menggunakannya untuk keperluan pribadi maupun komersial. Jika Anda pernah mengunjungi toko-toko yang menjual perangkat lunak (software) bajakan Anda akan menemui tumpukan CD yang berisi stok foto baik dalam resolusi tinggi untuk keperluan cetak maupun resolusi rendah untuk keperluan online publishing. Sementara di sebuah toko buku grafis di kawasan Jakarta Selatan Anda bisa menemui CD yang sama dengan kemasan yang lebih rapi lengkap dengan segelnya dengan harga lebih dari 10 kali lipatnya. Jelas yang mahal adalah yang asli atau legal, sementara yang murah adalah bajakan. Pembajakan hak cipta foto juga terjadi di internet di mana anda bisa menemui website stock image maupun web gallery komunitas fotografi online. Foto-foto yang terpampang di website semacam ini sangat rentan terhadap pencurian. Namun lebih mudah dibuktikan keasliannya karena besaran resolusi foto yang dipublikasikan di internet relatif kecil.

Secara hukum kepemilikan sah sebuah karya foto ada pada orang yang melakukan pemotretan. Kepemilikan foto tersebut dapat dibeli atau diberikan kepada pihak lain seizin pemilik foto. Aturan yang umum kita jumpai saat ini adalah apabila karya foto hanya digunakan untuk kepentingan sosial, biasanya tidak ada kewajiban materi yang harus diselesaikan, hanya kewajiban mencantumkan nama pemilik foto pada sisi foto tersebut. Alangkah naifnya apabila ada seorang atau sebuah lembaga melakukan “pencuri” foto yang bukan haknya, minimal sekali hal yang harus dilakukan adalah meminta izin kepada fotografer yang bersangkutan.

Upaya-upaya pencegahan semacam ini bisa menghindarkan Anda dari tuntutan hukum. Berdasarkan UU No. 19 tahun 2002 pelanggaran hak cipta bisa menyeret tertuduh tidak hanya pada tingkat perdata namun juga pidana dengan hukuman kurungan maksimal 7 tahun di samping denda maksimal 5 miliar rupiah.

Sebagai sebuah profesi, fotografer sebenarnya memiliki wadah organisasi yang menjadi ‘pengawal’ karya-karya mereka. Dengan hidup berkelompok, para fotografer merupakan insan sosial yang membutuhkan sosialiasi antar fotografer. Kelompok-kelompok fotografer yang ada merupakan representasi keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat. Sebagai makhluk sosial tentu fotografer juga memiliki kepedulian yang besar terhadap perkembangan daerahnya. Budaya merupakan target pemotretan yang paling banyak digemari para fotografer. Semakin unik dan semakin minoritas sebuah budaya semakin diburu para fotografer. Budaya akhirnya menjadi sebuah potensi daerah yang layak dijual untuk menambah pendapatan daerah bersangkutan. Untuk mempromosikannya alangkah baiknya pihak-pihak terkait merangkul kelompok-kelompok fotografi sebagai pemburu momen untuk mendukung proses promosi yang akan dilakukan.

Demi kepentingan bersama alangkah indahnya kalau lembaga terkait dan membutuhkan jasa fotografer untuk melibatkan dalam pelestarian budaya ini. Secara ekonomis saya sangat yakin, dengan pembicaraan terbuka seorang fotografer akan rela memberikan karya-karya terbaiknya untuk pelestarian ini. Penghargaan dan pengakuan itulah harapan seseorang berkarya. Penghargaan tidak harus dengan materi, memohon izin pun adalah sebuah penghargaan yang tak ternilai apabila dalam koridor yang benar, pengakuan pun bukan dengan hal yang macam-macam dengan mancantumkan nama dari fotografer yang bersangkutan sudah sangat luar biasa buat seorang fotografer.

Sebagai bangsa yang berbudaya marilah kita saling menghargai dan tolong menolong dalam melestarikan budaya kita yang indah ini. Apalah jadinya apabila penguasa daerah sendiri tidak menghargai budaya dan karya seni daerahnya, bagaimana kita menuntut orang lain untuk menghargainya.

*Tulisan ini dimuat sebagai Opini pada harian Fajar, 17 April 2010