Media Penyiaran Idealisme dan Kapitalisme (Opini Harian Fajar, 1 April 2014)


Kata penyiaran merupakan sebuah identitas yang cukup akrab di telinga kita. Penyiaran yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata dasar siar yakni meyebarkan atau propaganda sedangkan penyiaran /pe·nyi·ar·an/ n proses, cara, perbuatan menyiarkan.  1 April 1933 di Solo telah berdiri stasiun radio milik bangsa Indonesia yaitu Soloche Radio Vereeniging (SRV) yang diprakarsai oleh Mangkoenagoro VII. Tanggal ini akhirnya diperingati setiap tahunnya sebagai hari penyiaran nasional. Radio sebagai momentum awal terhadap dunia penyiaran telah memiliki andil besar terhadap perubahan tatanan bernegara kita. Berkat Radio pula Bung Karno dapat didengar oleh seluruh bangsa Indonesia saat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Saat ini dunia penyiaran telah berelaborasi dan bersinergi dengan berbagai macam bidang teknologi. Hampir tak bisa lagi konteks penyiaran hanya digunakan pada media Radio atau Televisi semata. Penyiaran pada tafsir prilaku telah banyak diambil peranannya oleh kekuatan teknologi baru. Masih relevan kah saat ini kita hanya berkutat dengan eforia masa lalu serta memaksakan diri untuk menghindar dari proses global dalam perkembangan teknologi informasi.
Saat ini dengan hadirnya siaran-siaran yang bersifat free to air jumlah radio dan televisi di kota makassar memiliki jumlah yang hampir sama banyaknya. Perbedaan yang mendasar adalah kepemilikan lokal, radio secara persentasi lebih besar dibandingkan televisi sehingga kebutuhan informasi mendasar yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat kota makassar masih didominasi oleh media radio. Walaupun secara efek psikologi komunikasi televisi lebih berpengaruh.
Kepemilikan akhirnya menjadi penting saat ini untuk bisa atau mengetahui ideologi yang diusung oleh media penyiaran. Kepentingan-kepentingan yang menjadi alasan informasi saat ini menjadi sebuah komunitas yang tidak lagi sebagai idealisme belaka, informasi hampir masuk atau sudah masuk dalam produk kapitalisme. Hal ini mau tidak mau harus diterima dalam prespektif kebudayaan material saat ini. Industri media penyiaran itulah istilah yang melekat kepada dunia penyiaran. Kata industri lah yang meyebabkan secara ideologi media akhirnya harus tunduk kepada pasar, kita menyebutnya sebagai rating (tingkat share penonton terhadap program penyiaran).
Ilmuwan Gerhard Lenski (dalam buku Sociology – John J. Macionis edisi  15, 2013) menggunakan terawangan evolusi sosial budaya guna melihat perkembangan masyarakat. Lenski menjelaskan bagaimana perubahan dalam masyarakat terjadi segera setelah mereka memproduksi (atau mengadaptasi) teknologi baru. Bagi Lenski, masyarakat wilayah pedalaman tidak selalu berarti lebih terbelakang ketimbang urban. Masyarakat pedalaman menggunakan teknologi yang sekadar menjangkau jumlah anggota mereka yang memang kecil, sementara teknologi masyarakat urban (misalnya alat komunikasi) mampu menjangkau jumlah yang lebih besar. Jangkauan ini berpengaruh terhadap pola perubahan masyarakat sehubungan intensitas interaksi sosial yang dihasilkannya. 
Kekuatan informasi dengan penyebaran yang begitu mudah inilah yang seharusnya menjadi sebuah pemikiran terhadap regulasi yang lebih memberikan penekanan dalam membatasi konten yang disiarkan. Sebuah budaya yang dihadirkan secara masif dalam dunia penyiaran akan bernampak terhadap teradopsinya beberapa budaya yang dapat mengubah budaya setempat. Pemikiran inilah yang harusnya menjadi landasan kenapa informasi dalam dunia penyiaran itu harus memaksimalkan konten lokal.
Era Digital dalam memaksimalkan kualitas siaran serta jumlah konten siaran yang lebih banyak telah berproses. Era ini akan menjadi sebuah serangan informasi dengan jumlah yang berapa kali lipat dari saat ini. Kesiapan tentu bukan hanya pada aspek regulasi bidang penyiaran saja. Jauh lebih penting saat ini dalam momentum hari penyiaran kita mulai berpikir. Sifat konsumtif masyarakat telah banyak dikaji oleh kaum intelektual, bukan saja pada konsumsi produk, konsumsi informasi masyarakat harus juga mendapat perhatian. Selektifitas dalam mengkonsumsi informasi yang dibutuhkan harus menjadi poin penyadaran masyarakat.
Literasi Media adalah kemampuan untuk mengkritik isi media dan memiliki pemahaman penuh tentang realitas. Masyarakat harus memiliki kemampuan untuk mengakses media, menganalisis isi media sesuai dengan konteks, mengkritik media massa, dan menulis pesan mereka sendiri dalam berbagai bentuk dan jenis media. Literasi Media, pada gilirannya, dapat menjadi langkah antisipatif dalam menghadapi konflik serta menjaga perdamaian di suatu wilayah.
Perkembangan teknologi informasi tanpa diikuti dengan penguatan kapasitas masyarakat dalam mengkonsumsi media akhirnya akan berdampak buruk pada proses kebudayaan kita. Demikian pula dengan media, khususnya media penyiaran, kasus Smackdown di Lativi pada tahun 2006 sebenarnya pada satu sisi menunjukkan terlambatnya media memberikan literasi media. Ketika Lativi pada waktu itu menyiarkan berbagai program bahwa acara Smackdown itu hiburan dan fiksional, upaya tersebut sudah terlambat karena sudah menimbulkan banyak korban di penonton anak-anak.
Dunia penyiaran merupakan kumpulan orang-orang kreatif yang memiliki ideologi tinggi, tetapi media penyiaran telah terkoptasi dalam industri kapital. Pertanda baik masih mungkin kita gantungkan pada orang-orang tersebut, sebagai kehendak kearifan lokal yang terus terjaga dari zaman ke zaman. Dunia tak lagi sempit, arus informasi telah menerpa dari segala arah, komitmen lah yang diperlukan saat ini. Mari jadikan diri kita sebagai filter-filter informasi. Semoga hari depan kita masih berbudaya luhur dari proses intraksi sosial bukan berbudaya dari terpaan informasi global. Selamat Hari Penyiaran 2014

0 comments: