Kata penyiaran merupakan
sebuah identitas yang cukup akrab di telinga kita. Penyiaran yang dalam kamus
besar bahasa Indonesia berasal dari kata dasar siar yakni meyebarkan atau
propaganda sedangkan penyiaran /pe·nyi·ar·an/ n proses, cara, perbuatan menyiarkan. 1 April 1933 di Solo telah berdiri stasiun
radio milik bangsa Indonesia yaitu Soloche Radio Vereeniging (SRV) yang diprakarsai
oleh Mangkoenagoro VII. Tanggal ini akhirnya diperingati setiap tahunnya sebagai
hari penyiaran nasional. Radio sebagai momentum awal terhadap dunia penyiaran
telah memiliki andil besar terhadap perubahan tatanan bernegara kita. Berkat
Radio pula Bung Karno dapat didengar oleh seluruh bangsa Indonesia saat
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Saat ini dunia penyiaran
telah berelaborasi dan bersinergi dengan berbagai macam bidang teknologi.
Hampir tak bisa lagi konteks penyiaran hanya digunakan pada media Radio atau
Televisi semata. Penyiaran pada tafsir prilaku telah banyak diambil peranannya
oleh kekuatan teknologi baru. Masih relevan kah saat ini kita hanya berkutat
dengan eforia masa lalu serta memaksakan diri untuk menghindar dari proses global
dalam perkembangan teknologi informasi.
Saat ini dengan hadirnya siaran-siaran
yang bersifat free to air jumlah
radio dan televisi di kota makassar memiliki jumlah yang hampir sama banyaknya.
Perbedaan yang mendasar adalah kepemilikan lokal, radio secara persentasi lebih
besar dibandingkan televisi sehingga kebutuhan informasi mendasar yang
sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat kota makassar masih didominasi oleh
media radio. Walaupun secara efek psikologi komunikasi televisi lebih
berpengaruh.
Kepemilikan akhirnya menjadi
penting saat ini untuk bisa atau mengetahui ideologi yang diusung oleh media
penyiaran. Kepentingan-kepentingan yang menjadi alasan informasi saat ini
menjadi sebuah komunitas yang tidak lagi sebagai idealisme belaka, informasi
hampir masuk atau sudah masuk dalam produk kapitalisme. Hal ini mau tidak mau
harus diterima dalam prespektif kebudayaan material saat ini. Industri media
penyiaran itulah istilah yang melekat kepada dunia penyiaran. Kata industri lah
yang meyebabkan secara ideologi media akhirnya harus tunduk kepada pasar, kita
menyebutnya sebagai rating (tingkat share
penonton terhadap program penyiaran).
Ilmuwan Gerhard
Lenski (dalam buku Sociology – John J.
Macionis edisi 15, 2013) menggunakan
terawangan evolusi sosial budaya guna melihat perkembangan masyarakat. Lenski
menjelaskan bagaimana perubahan dalam masyarakat terjadi segera setelah mereka
memproduksi (atau mengadaptasi) teknologi baru. Bagi Lenski, masyarakat wilayah
pedalaman tidak selalu berarti lebih terbelakang ketimbang urban. Masyarakat
pedalaman menggunakan teknologi yang sekadar menjangkau jumlah anggota mereka
yang memang kecil, sementara teknologi masyarakat urban (misalnya alat komunikasi)
mampu menjangkau jumlah yang lebih besar. Jangkauan ini berpengaruh terhadap
pola perubahan masyarakat sehubungan intensitas interaksi sosial yang
dihasilkannya.
Kekuatan
informasi dengan penyebaran yang begitu mudah inilah yang seharusnya menjadi
sebuah pemikiran terhadap regulasi yang lebih memberikan penekanan dalam membatasi
konten yang disiarkan. Sebuah budaya yang dihadirkan secara masif dalam dunia
penyiaran akan bernampak terhadap teradopsinya beberapa budaya yang dapat
mengubah budaya setempat. Pemikiran inilah yang harusnya menjadi landasan
kenapa informasi dalam dunia penyiaran itu harus memaksimalkan konten lokal.
Era Digital
dalam memaksimalkan kualitas siaran serta jumlah konten siaran yang lebih
banyak telah berproses. Era ini akan menjadi sebuah serangan informasi dengan
jumlah yang berapa kali lipat dari saat ini. Kesiapan tentu bukan hanya pada
aspek regulasi bidang penyiaran saja. Jauh lebih penting saat ini dalam
momentum hari penyiaran kita mulai berpikir. Sifat konsumtif masyarakat telah
banyak dikaji oleh kaum intelektual, bukan saja pada konsumsi produk, konsumsi
informasi masyarakat harus juga mendapat perhatian. Selektifitas dalam
mengkonsumsi informasi yang dibutuhkan harus menjadi poin penyadaran
masyarakat.
Literasi Media adalah
kemampuan untuk mengkritik isi media dan memiliki pemahaman penuh tentang
realitas. Masyarakat harus memiliki kemampuan untuk mengakses media,
menganalisis isi media sesuai dengan konteks, mengkritik media massa, dan
menulis pesan mereka sendiri dalam berbagai bentuk dan jenis media. Literasi
Media, pada gilirannya, dapat menjadi langkah antisipatif dalam menghadapi
konflik serta menjaga perdamaian di suatu wilayah.
Perkembangan teknologi
informasi tanpa diikuti dengan penguatan kapasitas masyarakat dalam
mengkonsumsi media akhirnya akan berdampak buruk pada proses kebudayaan kita.
Demikian pula dengan media, khususnya media penyiaran, kasus
Smackdown di Lativi pada tahun 2006 sebenarnya pada satu sisi menunjukkan
terlambatnya media memberikan literasi media. Ketika Lativi pada waktu itu
menyiarkan berbagai program bahwa acara Smackdown itu hiburan dan fiksional,
upaya tersebut sudah terlambat karena sudah menimbulkan banyak korban di
penonton anak-anak.
Dunia penyiaran merupakan
kumpulan orang-orang kreatif yang memiliki ideologi tinggi, tetapi media
penyiaran telah terkoptasi dalam industri kapital. Pertanda baik masih mungkin
kita gantungkan pada orang-orang tersebut, sebagai kehendak kearifan lokal yang
terus terjaga dari zaman ke zaman. Dunia tak lagi sempit, arus informasi telah
menerpa dari segala arah, komitmen lah yang diperlukan saat ini. Mari jadikan diri
kita sebagai filter-filter informasi. Semoga hari depan kita masih berbudaya luhur
dari proses intraksi sosial bukan berbudaya dari terpaan informasi global.
Selamat Hari Penyiaran 2014
0 comments:
Post a Comment